Petugas menunjukkan nozzle dispenser
yang telah dilengkapi Radio Frequency Identification Device (RFID)
Reader pada acara simulasi ujicoba RFID di Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum (SPBU) 31.10202 di Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat, Jumat
(17/5/2013). Ujicoba tersebut tersebut sebagai implementasi dari program
sistem monitoring dan pengendalian BBM berbasis teknologi informasi. |KOMPAS/PRIYOMBODO
JAKARTA, KOMPAS.com — Polemik tentang rencana
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terus bergulir. Beberapa fraksi
ada yang menolak, tapi tak sedikit pula yang mendukung.
Salah
satu pendukung rencana kenaikan harga BBM ini adalah fraksi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Apa pertimbangan harga BBM harus
dinaikkan?
Sekretaris Jenderal PPP M Romahurmuzy mengungkapkan,
setidaknya ada lima alasan mengapa subsidi BBM harus dikurangi dengan
konsekuensi harga yang menjadi lebih mahal.
Pertama, harga BBM
bersubsidi Rp 4.500 terlalu murah, jauh berbeda dengan harga BBM
industri yang mencapai Rp 9.300. Harga BBM Indonesia juga termurah di
kawasan ASEAN. Harga BBM Indonesia sangat murah jika dibandingkan
misalnya dengan Vietnam (RON 92) Rp 15.553; Laos Rp 13.396; Kamboja Rp
13.298; dan Myanmar Rp 10.340.
"Bahkan harga BBM bersubsidi
Indonesia adalah yg termurah di dunia untuk ukuran negara net importer.
Hal ini merangsang penyelundupan, baik kepada sektor
industri/pertambangan, maupun penyelundupan ke luar negeri," kata
Romahurmuzy dalam siaran persnya, Selasa (4/6/2013).
Romy,
panggilan Romahurmuzy, menjelaskan, kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan
DPR bersama pemerintah setiap tahunnya selalu terlampaui sehingga
disinyalir jebolnya kuota ini karena penyelundupan di mana-mana.
"Alasan
kedua, harga BBM fosil yang murah, menghambat munculnya energi
alternatif. Bahan bakar nabati, baik berbasis etanol maupun CPO, tidak
bisa bersaing. Bahan bakar alternatif seperti gas tidak berkesempatan
tumbuh karena harganya relatif dekat dengan BBM bersubsidi," ungkap
Romy.
Ketiga, lanjutnya, sejak awal dekade 2000, Indonesia telah
beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Dengan
importasi BBM dan minyak mentah yang mencapai lebih sepertiga dari
kebutuhan nasional, harga BBM nasional sangat bergantung pada harga
internasional.
"Akibat impor BBM yang terus naik, defisit fiskal membengkak sehingga mengancam neraca pembayaran," ujarnya.
Keempat,
Romy memaparkan, subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai
ketentuan UU 30/2007 tentang Energi. Di dalam Pasal 7 Ayat (2)
disebutkan bahwa subsidi disediakan untuk kelompok masyarakat tidak
mampu. Namun kenyataannya, subsidi BBM dinikmati lebih 70 persen oleh
kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder
tinggi.
"Pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi kepada
masyarakat golongan ekonomi terlemah dimaksudkan untuk membenahi subsidi
yang salah sasaran itu," imbuh Romy.
Alasan terakhir, Romy
menuturkan, seperlima APBN telah tersedot untuk subsidi energi yang
bersifat konsumtif. Hal ini membuat ruang gerak belanja negara untuk
sektor produktif yang lebih bersifat jangka panjang menjadi terbatas.
"Akibatnya
daya saing yang tercipta di pasar internasional semu, didominasi oleh
produk mentah yang mengandalkan buruh murah dan harga energi yang murah.
Padahal murahnya harga energi karena disubsidi," ucapnya.
Dengan
sejumlah alasan tersebut, papar Romy, rasionalisasi kenaikan harga BBM
bersubsidi adalah untuk kemaslahatan anak cucu. Oleh karena itu, Romy
meminta keputusan kenaikan harga BBM jangan dipersoalkan, dipolitisasi
berlebihan, apalagi dijadikan panggung mencari simpati dan dukungan
menjelang hajat pemilu lima tahunan.
"Bagi PPP, lebih baik kita
katakan kebenaran itu, meski pahit. Di antara tugas pemimpin politik
adalah membangun optimisme dan harapan untuk sebuah arah di masa depan,
bukan terus mengeksploitasi dan memanipulasi dukungan publik untuk
realitas semu yang penuh agumentasi menipu," tukasnya.
sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com